Sastro VS Dunia (Sebuah Renungan)

 

Kata-kata diatas bukan sebuah judul sinetron atau jadwal pertandingan tinju profesional.

Suatu pagi yang indah (wah kayak sastrawan), Sastro menyembul dari kolam mimpi menuju tepian kehidupan yang menjemukan. Rambutnya kusut, mata sembab sisa begadang tadi malam. Sastro nyaris tak berpakaian karena kaos oblong yang sudah tipis bak kulit ari dengan banyak lubang ventilasi itu masih setia menempel di tubuh kerempengnya.
Barangkali kalau disiluetkan, bayangan tubuh Sastro mirip dengan bayangan wayang kulit yang dimainkan oleh dalang kondang semalam. We ladalah, jadi ketahuan kalau Sastro begadang bukan untuk ngaji atawa tahajud tapi untuk nonton wayang kulit di alun-alun (itupun kalau niat nonton sinden dan cuci matanya tidak dihitung).


Sebenarnya semalam Sastro ada tugas dari pesantren untuk mempelajari beberapa bab kitab kuning yang kertasnya benar-benar berwarna kuning. Keinginannya untuk refreshing alias ngaso dari rutinitas kesantrian, memaksanya untuk diam-diam meninggalkan 'penjara dunia' menuju nirwana yang penuh hur al 'ain (bidadari) yang menjelma dalam diri para sinden yang melantunkan suara-suara surgawi.

Ya, diam-diam Sastro adalah seorang santri sebuah pesantren desa. Pesantrean yang mengajarkan ajaran Islam tradisional. "Bukan Islam 'neko-neko' dan 'ngoyoworo'", begitu setiap kali Sastro mengistilahkan Islam sok intelektual atau Islamnya wong pinter yang kadang lebih gampang minteri orang lain.
Sejenak membiasakan matanya dengan tusukan cahaya pagi, Sastro duduk diatas kasur kumalnya sambil memikirkan rutinitas hari ini. Meski santri, Sastro bisa bangun agak siangan karena dalam jajaran santri yang ada, ia dianggap 'bawang kothong', ada ya syukur nggak ada ya nggak ngurangi kenyamanan. Tugas utamanya di pesantren adalah mengurus kebun pesantren dan suruhan para kyai atau kadang santri-santri lain yang lebih senior. Sastro merasa puas dengan melakukan semua pelayanan itu sebagai kewajiban wong cilik kepada para kyai sang panutan dan imam menuju surga. "Bukan apa yang kau pelajari tapi apa yang kau niatkan", masih diingat dengan jelas kata-kata yang diwejangkan oleh kyai Al Basyri, pimpinan ponpes yang kharismatik. Konon beliau dinamakan Al Basyri karena pernah suatu hari beliau melakukan rogoh sukma sehingga ruhnya melesat terbang, menembus ruang dan waktu dan melakukan shalat di kota Bashrah, Iraq bersama Syeikh Abdul Qadir Jaelany.

Atas dasar itu segala rutinitas kerja wiyata bhakti, Sastro lakoni dengan segala keikhlasan dengan harapan salah satu bilik surga akan jadi miliknya kelak.
Pendidikan ponpes nampaknya telah berhasil menancapkan sebentuk konsep kehidupan dalam diri Sastro, menjadikannya yang cenderung 'membenci' nilai-nilai duniawi dan mengagungkan nilai ukhrawi nan surgawi. Sastro melihat orang kaya sebagai ahli neraka yang harus dibenci dan dijauhi dan orang miskin adalah ahli surga dan wajib di'tauladani' kemiskinannya.
Sastro bersyukur terlahir sebagai orang miskin yang, menurutnya, merupakan syarat masuk surga. Akhirnya ia bangga dengan kemiskinannya. Sastro menjadi rajin melakukan ritual 'kemiskinan' seperti 'nglokro' dan 'narima ing pandum' meski sebenarnya ia bisa mendapat lebih. Kelaparan ia tafsirkan sebagai laku prihatin dan sumber rasa syukur, compang-camping pakaian ia terjemahkan sebagai kesadaran akan hakikat manusia yang papa dan menerima sedekah orang ia takwilkan sebagai langkah keseimbangan antara si kaya dan si miskin.
Sastro adalah sebuah miniatur penghambaan manusia kepada Sang Khaliq yang mungkin mewakili sekian banyak manusia di muka bumi.
Terkadang ada pertentangan antara jiwa malaikat dan nafsu ke'manusia'annya.
Saat sisi malakutnya (wah kayak sufi) mengajaknya berasyik ma'syuq dengan Tuhan, suara gamelan dan lantunan indah suara sinden mengusik jiwa sisi ke'sastro'annya untuk menyambut panggilan, yang baginya duniawi, itu.
Peribadatan Sastro adalah peribadatan kaum santri utun yang memahami sesuatu tanpa 'koordinasi' dengan pemahaman yang lain.
Akhirnya, acap kali Sastro kebingungan untuk memilih (atau menggabungkan) antara nilai duniawi dan ukhrawi.

Anyway (waduh tadi sufi sekarang wong londo), Sastro sudah menemukan surganya sendiri meski ia harus terseok membawa serta 'neraka'nya menuju nirwana. Mustahil?, mungkin bagi orang lain tapi tidak bagi seorang Sastro. Apalagi Sastro yang gemblung.

(Rakhmat hidayat)

No comments

Powered by Blogger.