AL QURAN DAN BANI ISRAIL
Barangkali nama Bani Israil, adalah nama sebuah kaum yang sangat akrab di telinga kita. Bani Israil berasal dari kata bani (anak-anak keturunan) dan Israil yaitu nama lain Nabi Ya’qub. Kata Israil sendiri berasal dari kata isra (hamba) dan iil (Allah) atau dalam bahasa Arab sama dengan Abdullah.
Begitu banyak ayat al quran yang menceritakan sepak terjang mereka terutama dalam memperlakukan perintah Tuhan serta para utusan-Nya. Saking viralnya informasi tentang kaum yang satu ini hingga kita patut bertanya : “Mengapa Allah memasukkan begitu banyak kisah hidup mereka dalam kitab Muhammad saw?”.”Apakah hikmah Al Quran memasukkan kisah hidup kaum terdahulu dalam banyak ayat-ayat yang turun kepada kita umat Muhammad?”.
Adalah tidak
mungkin Allah yang Maha Hakim (bijaksana) memasukkan kisah mereka hanya untuk menjelaskan bahwa
kaum seperti itu pernah ada dalam kehidupan umat manusia karena Quran bukanlah
kitab dongeng dan hikayat, wa maa ‘allamnahusy syi’ra wa maa yanbaghii lahu
Sesungguhnya Allah banyak
menyebutkan kisah Bani Israil kepada umat ini sebagai peringatan keras agar
tidak mengalami nasib yang sama dengan kaum yang satu ini, mengingat kedua umat
ini (Bani Israil dan umat Muhammad) pernah mendapatkan janji Allah yang sama
yaitu untuk menjadi umat termulia yang diciptakan Allah. Bukankah kepada kaum
Bani Israil Allah berfirman :
وَأَنِي فَضَّلْتُكُمْ عَلَى العَالَمِيْن
...dan kami unggulkan kalian
atas seluruh alam
Dan kepada umat Muhammad Ia berfirman:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاس
…kalian adalah umat terbaik yang
diciptakan Allah
Kaum Bani
Israil, karena kesombongannya, terbukti gagal mewujudkan nilai-nilai kelayakan
akan janji itu sehingga mereka jatuh dari puncak kemuliaan kedalam jurang
kehinaan.
Akankah umat
Muhammad mengalami nasib yang sama…? Semua terpulang kepada umat ini untuk
mengumpulkan nilai-nilai kelayakan sebagai umat tertinggi dan termulia.
Tentunya dengan belajar dari kisah kaum pendahulu.
Ketaatan
mutlak kepada Rasul Allah
Setiap manusia
muslim hendaknya meyakini dengan sepenuh hati bahwa segala tindakan yang
dilakukan, kalimat yang disabdakan dan kecenderungan yang disepakati oleh para
nabi termasuk Rasulullah Muhammad saw. pastilah merupakan manifestasi wahyu
ilahi yang diembankan kepada beliau. Rasul Allah adalah manusia ilahiyah yang
tidak berbicara kecuali atas landasan wahyu yang diturunkan kepadanya. Wahyu
yang terjamin kemurnian dan keutuhan isi dan susunan bahasanya.
Sehubungan dengan hal ini Allah berfirman :
“Kawanmu
(Muhammad) tidaklah keliru atau tersesat (2) Dan ia tidak berbicara berdasarkan
dorongan nafsu (3) Setiap yang ia sampaikan adalah wahyu (4)” (Q.S. An Najm)
“Aku akan bacakan kepadamu dan
kamu tidak akan lupa” (Q.S. Al A’la)
Maka segala perlakuan Rasulullah saw. kepada seseorang bukanlah tindakan
yang berlandaskan dorongan hawa nafsu atau motifasi emosional manusiawi. Bukan
pula perlakuan yang berlandaskan kepentingannya pribadi dan keuntungan
subyektif.
Berdasarkan keyakinan akan kemaksuman para Nabi, apa yang datang
dari mereka hendaknya kita ikuti dan taati sepenuh hati sebagai pedoman
keselamatan. Ketaatan itu haruslah mutlak karena otoritas yang diberikan kepada
mereka adalah otoritas ilahiyah yang bersifat mutlak. Ketaatan kepada mereka
sama dengan ketaatan kepada Allah, Sang pencipta dan pengatur alam semesta.
“…apapun yang datang dari Rasul
ambillah dan apa yang dilarangnya jauhilah. Bertaqwalah kepada Allah
sesungguhnya Allah amat dahsyat siksa-Nya” (Q.S. Al Hasr)
Ketaatan mutlak
ini juga berlaku bagi kepada khalifah-khalifah Rasul pilihan Allah melalui
lisan suci Nabi saw. Manusia-manusia suci yang memegang otoritas ilahi setelah
Rasul saw. ini adalah para khalifah maksum yang telah disebutkan jumlah dan
nama mereka dalam kitab-kitab mu’tabar.[1]
Ijtihad ra’yu sumber kehancuran umat manusia
Setelah kita melihat beberapa
ayat diatas maka sangat disayangkan jika kita melihat kecenderungan sebagian
kaum muslimin menggunakan ijtihad ra’yu yang bersifat subyektif untuk melakukan
takwil atas sunnah Rasul yang dilandasi oleh semangat kemadzhaban serta
eksklusifisme. Sebagian mengatakan bahwa kecintaan Rasulullah kepada Husein
-misalnya- adalah bentuk manusiawi dari kasih sayang seorang kakek kepada
cucunya. Penakwilan ini sebagai usaha –menurut mereka- untuk menghindarkan kaum
muslimin dari tindakan pengkultusan manusia atas manusia yang lain yang pada
puncaknya akan menciptakan kemusyrikan.
Tanpa berniat melakukan tasybih (penyamaan) tindakan ini
mengingatkan kita kepada keengganan Iblis untuk sujud kepada Adam as. dengan
alasan bahwa ia ingin mengikhlaskan ibadah dengan hanya sujud kepada Allah
sehingga ia mengatakan “…sejak kapan ikhlas itu dosa”[2].
Sekilas logika ini benar dan meyakinkan sehingga banyak akal yang lalai
terkecoh olehnya. Padahal sangat jelas bahwa apa yang dilakukan Iblis adalah
pelanggaran atas perintah Allah (sujud kepada Adam as.) dengan dalih keikhlasan sebagai sebuah pembenaran bagi
pelanggaran itu.
Jika tradisi ini dibiarkan berkembang bahkan terbina dalam
masyarakat muslim kita maka akan menciptakan karakter-karakter kaum Bani Israil
yang mewakili kaum yang dimurkai Allah karena selalu mentakwil perintah Allah
sesuai dengan keinginan hawa nafsu mereka.
Dibawah ini beberapa kasus yang termaktub dalam Quran untuk
memberikan gambaran tentang tradisi takwil ra’yu yang dilakukan kaum Bani
Israil sebagai pembenaran atas keingkaran mereka:
1.
Setelah melakukan keingkaran dan dosa, mereka
enggan bertaubat dengan banyak alas an misalnya setelah melihat wujud Allah
dengan jelas barulah mereka bertaubat. Padahal mereka tahu bahwa hal itu tidak
mustahil
.
“Dan ingatlah ketika kalian
berkata : “Wahai Musa, kami tidak akan beriman kepada (ajaran)mu hingga kami
melihat Allah dengan jelas. Maka (karena hal itu) petir menyambar mereka dan
kalian melihat (hal itu)” (Q.S. Al Baqarah)
2.
Pada peristiwa dimana Musa as. menyuruh
mereka untuk menyembelih anak sapi untuk membuktikan kasus pembunuhan mereka
melontarkan begitu banyak pertanyaan tentang kriteria sapi yang dimaksud dengan
tujuan untuk tidak melaksanakannya. Sehingga meski pada akhirnya mereka
melaksanakan perintah itu, Allah berfirman :
“…akhirnya mereka menyembelih dan
hampir-hampir mereka tidak melaksanakannya”. (Q.S. Al Baqarah)
3.
Tidak bersedia mengikut ajaran Musa as.
karena kekafiran dengan menunjukkan seakan-akan mereka sadar dan menyesal atas
ketertutupan hati mereka.
“Mereka berkata: “Hati kami
memang tertutup”, tapi sesungguhnya Allah melaknat mereka karena kekufuran maka
sedikit sekali yang beriman”. (Q.S. Al Baqarah)
4.
Selalu menggunakan hilat (muslihat) untuk
tidak melaksanakan perintah Allah seperti pelanggaran atas larangan berburu
ikan pada hari Sabat dengan menggunakan muslihat melemparkan jaring pada hari
Sabat dan mengangkatnya pada hari berikutnya. (lihat tafsir Kasyif tulisan Syeikh Jawad Mughniyah, tafsir surat
Al Baqarah : 65).
5.
Menolak kenabian Nabi Muhammad dengan banyak alasan
padahal penolakan itu berdasarkan hawa nafsu. Mereka memandang Nabi Muhammad
bukan sebagai utusan yang harus diikuti tapi sebagai orang Arab, orang dari
bangsa yang, secara turun temurun, sangat mereka benci. Padahal dalam hal ini
mereka yang meminta agar Allah mengutus juru selamat untuk menyelamatkan mereka
dari musuh-musuh mereka.
“Dan ketika datang kepada mereka
sebuah kitab dari sisi Allah dimana kitab itu membenarkan isi kitab sebelumnya.
Sebelumnya mereka memohon pertolongan dari Allah untuk melawan orang-orang kafir.
Maka ketika sang penolong datang dalam keadaan yang telah mereka ketahui,
mereka mengingkarinya. Maka laknat Allah ditimpakan atas orang-orang kafir”.
(Q.S. Al Baqarah)
6.
Selalu meminta segala sesuatu, baik berupa
makanan, minuman atau barang-barang lain yang tidak ada di hadapan mereka.
Mereka selalu meminta lebih, bukan karena kekurangan akan tetapi karena
hilangnya rasa syukur dalam hati mereka. Mereka merasa menjadi umat paling
mulia diatas umat-umat yang lain. Perasaan ini yang menjadikan mereka
menyombongkan diri bahkan terhadap Tuhan. Hal ini menjadikan Nabi Musa as.
marah dan melaknat mereka.
“Dan ingatlah ketika kalian berkata : “Wahai
Musa, kami tidak sabar (cukup) dengan satu jenis makanan saja. Berdoalah kepada
Tuhanmu agar memberikan apa yang tumbuh di bumi termasuk sayuran, bawang putih,
kacang adas dan bawang merahnya. (Musa) berkata: “Apakah kalian hendak menukar
sesuatu yang baik dengan sesuatu yang buruk?”, “Turunlah ke kota disana kalian
akan mendapat apa yang kalian inginkan!”, dan mereka ditimpa kenistaan dan
kehinaan serta ditimpa kemurkaan Allah…(Q.S. Al Baqarah)
Sehingga banyak ayat yang
berhubungan dengan mereka diawali dengan kalimat : “…wahai Bani Israil,
ingatlah akan nikmat yang telah Kuanugerahkan kepada kalian…!” untuk
menunjukkan betapa nikmat yang mereka terima sangat banyak dan betapa syukur
sangat sedikit.
Beberapa kasus diatas hanya sebagian kecil saja dari karakter Bani
Israil yang selalu ingkar kepada perintah Tuhan mereka. Mereka menggunakan
ra’yu subyektif untuk menghindarkan diri dari perintah Tuhan. Mereka berusaha
mencampur adukkan kebenaran dengan kebatilan agar yang bathil terlihat haq atau
sebaliknya. Mereka seperti orang-orang yang menuhankan diri mereka sendiri.
Tidak ada yang mereka jadikan sandaran kebenaran kecuali diri dan hawa nafsu
mereka. Mereka tidak punya syariat, tidak punya nabi bahkan tidak punya Tuhan
kecuali diri mereka sendiri. Tindakan keingkaran mereka terwujud dalam bentuk
usaha untuk mendustakan dan membunuh para nabi dan utusan jika risalah Tuhan
yang dibawa tidak sesuai dengan keinginan mereka. Hal ini diabadikan dalam Al
Quran:
“…Apakah setiap kali datang
kepada kalian seorang utusan yang risalahnya tidak sesuai dengan keinginan hawa nafsu, kalian
menyombongkan diri. Sebagian kalian bunuh dan sebagian kalian dustakan?”. (Q.S.
Al Baqarah:87)
Hal ini harus menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi umat
Muhammad. Umat yang telah dianugerahkan kepada mereka potensi untuk menjadi umat
tertinggi dengan adanya risalah yang paling sempurna. Semakin sempurna
fasilitas yang dimiliki, semakin besar tanggung jawab yang harus diemban.
Ironisnya, meskipun kita bukan umat yang membunuh para nabi secara fisik akan
tetapi kita cenderung menjadi umat yang membunuh ajaran-ajaran dan asas-asas
yang dibangun oleh para Nabi dan para Imam itu. Amarah kita memuncak saat
mendengar berita bahwa mushaf Al Quran yang merupakan kumpulan tulisan firman
diatas kertas, diinjak-injak atau dinodai huruf-hurufnya akan tetapi, pada saat
yang sama, ketika syari’at Islam diinjak-injak kita berdiam diri, bahkan
bersuka cita atau ikut menginjak-injaknya. Kita berdiam diri ketika didekat
masjid-masjid kita dibangun klap-klap malam, rumah perjudian dan bentuk-bentuk aktivitas
maksiat yang lain tanpa ada usaha sedikitpun untuk melakukan amar ma’ruf nahi
munkar.
Kita selalu menilai kebaikan
agama dari sudut keuntungan kita yang subyektif. Kita akan menganggap agama
baik jika menguntungkan kita dan demikian pula sebaliknya. Itulah yang terjadi
pada Bani Israil. Keingkaran mereka (Bani Israil) terhadap syari’at Muhammad
saaw. bukan karena syari’atnya menyimpang akan tetapi karena mereka sudah
terhinggapi fanatisme maslahat golongan. Mereka hanya akan mengikuti agama yang
mendukung kepentingan nafsu mereka.
“Berimanlah
kepada kitab yang diturunkan Allah !”, mereka mengatakan : “Kami beriman kepada
apa yang diturunkan kepada kami”, tapi mereka mengingkari yang turun
pada selain mereka, padahal
(kitab) yang diturunkan adalah sama
dengan keyakinan (kitab) mereka sebelumnya ”. Katakanlah
wahai Muhammad : “Mengapa kamu
membunuh nabi-nabi Allah sebelumnya (meskipun berasal dari Bani Israil) jika kamu memang beriman?” (Q.S. Al Baqarah).
Kita memang
bukan Bani Israil, akan tetapi kita seringkali akrab dengan karakter mereka.
Kita lebih mencintai agama hanya karena didalamnya terdapat
praktek-praktek yang menguntungkan, menyenangkan dan dapat dieksploitasi untuk kepentingan
hawa nafsu kita. Logikanya, kita akan mencela dan mempertanyakan hukum agama
jika bertentangan dengan kemauan kita. Itu artinya kita belum masuk Islam
secara kafah (total). Kita tidak menjadikan agama sebagai petunjuk dan pedoman
hidup tapi. Kita menjadikannya sebagai alat untuk mewujudkan setiap keinginan
kita.
Tanyakan pada diri kita, meskipun secara aqidah kita bukan termasuk
orang-orang kafir akan tetapi, pada kenyataannya, sifat-sifat kita seringkali menyerupai
sifat-sifat mereka.
“…kamu beri peringatan atau tidak
sama saja, mereka tetap tidak akan beriman…”(Q.S. Al Baqarah)
“…Allah menutup hati, pendengaran
dan penglihatan mereka…”
Semoga kita
menjadi umat yang mampu memikul tanggung jawab agung ini dengan selalu berusaha
mengumpulkan nilai-nilai kelayakan sebagai umat termulia di muka bumi.
ab
No comments