Manusia merupakan makhluk yang
dianugerahi oleh Allah fasilitas akal yang berfungsi untuk melakukan proses
berfikir demi menemukan solusi bagi masalah yang dihadapi. Dengan akal itu,
manusia mebedakan mana yang harus dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan.
Hal ini dibuktikan dengan banyak bermunculan pemikiran-pemikian inovatif yang
mewarnai dunia ini.
Sesungguhnya setiap potensi
memerlukan tekhnis yang tepat agar menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi
manusia, karena tekhnis berfikir yang salah akan menjerumuskanya ke lembah
kesesatan dan penyesatan. Bukankah selama ini kita dapati kenyataan bahwa sebab
dominan dari kekacauan, anarkisme, intoleransi yang marak belakangan ini adalah
kesalahan dalam berfikir.
Sejatinya, cara berfikir kita
akan mempengaruhi langkah (follow up) yang kita ambil dalam menyelesaikan
setiap masalah.
Kali ini kita akan membahas cara
berfikir kita dalam hal 'memberi' yang nantinya akan berpengaruh pada proses
kita dalam berinfaq, berzakat dan membantu sesama dalam bentuk pemberian baik
materi maupun non materi.
Dalam memberi, setidaknya ada 3
cara berfikir yang bisa kita temukan dalam masyarakat:
1. Cara berfikir titik (point),
dimana manusia berfikir tentang satu titik saja dan memberikan sesuatu kepada
satu titik tersebut. Siapakah titik itu?. Tidak diragukan lagi bahwa titik itu
adalah diri sendiri. Orang yang pola berfikirnya seperti ini hanya akan
memperhatikan kepentingan yang berhubungan dengan dirinya sendiri. Cara pikir
seperti ini hanya akan melahirkan manusia yang kikir dan egois.
2. Cara berfikir garis, dimana
manusia mulai berfikir untuk memberikan sesuatu kepada selainnya. Ia telah
berpindah dari titik dirinya kepada titik selainnya. Bukankah garis adalah
jalur berpindahnya sesuatu dari satu titik ke titik yang lain?. Namun meski
telah berpindah, ia masih saja melihat adanya garis yang menjadi tanda
perpindahannya. Dengan kata lain, manusia yang berfikir seperti ini sudah mulai
memberikan sesuatu kepada orang lain namun masih mengingat-ingat pemberiannya
dan merasa berjasa kepada orang yang menerima uluran tangannya. Jika berlanjut,
maka tidak mustahil suatu saat ia meminta balasan atas pemberiannya itu karena
gambar garis yang ia buat masih terlihat jelas di matanya.
3. Cara befikir lingkaran
(circle), Dengan pola ini manusia melakukan gerakan lebih dari sekedar gerakan
perpindahan dari satu titik ke yang lain hingga membentuk sebuah garis. Lebih
dari itu, ia melanjutkan gerakan itu dengan mengembalikannya pada dirinya
sebagai garis finish pergerakan.
Pada pola garis, seseorang
memberikan santunan kepada orang lain yang membutuhkan untuk membantunya.
Dengan itu hartanya berpindah dari tangannya ke tangan orang lain sehingga
orang lain mendapatkan manfaat darinya.
Pada pola lingkaran, seseorang
memberikan bantuan kepada orang lain bukan demi orang lain akan tetapi demi
dirinya sendiri. Ia mendapatkan
kebahagian dari senyum kaum miskin yang merasa terbantu. Ia mengejar bahagia
dirinya dengan membahagiakan orang lain. Kini kebahagiaan orang lain menjadi
sarana untuk membahagiakan dirinya. Betapa ia menjadi manusia paling bahagia di
dunia.
Pola pikir lingkaran ini adalah
pola ideal yang diajarkan oleh Al Quran dalam banyak ayat. Diantara ayat-ayat
itu adalah :
“…Barangsiapa yang kikir
sesungguhnya ia kikir kepada diri sendiri. Sesungguhnya Allah maha kaya
sedangkan kalian adalah fakir…”
“Barangsiapa yang beramal baik
maka itu untuk dirinya dan barangsiapa beramal jahat maka kejahatan itu akan
menimpanya”.
…dan berinfaqlah, sesungguhnya
kebaikannya bagi kamu. Barangsiapa yang terhindari dari sifat kikirnya maka ia
termasuk golongan beruntung.
…dan mereka melakukan itsar
(mendahulukan kepentingan selain dirinya
meski ia dalam kesulitan. Barangsiapa yang terhindari dari sifat kikirnya maka
ia termasuk golongan beruntung
Al Quran sering mengulang kata
‘khairun lakum’ (lebih baik bagi diri kamu)
yang mengajarkan kita kepada hakikat bahwa syari’at diturunkan demi
kebaikan manusia.
Seseorang yang berpola
lingkaran dalam berfikir akan mendapati dirinya senantiasa berada dalam
kebahagiaan. Bahkan saat memberi ia tidak memikirkan apakah dirinya berada
dalam keadaan ‘lapang’ maupun ‘sempit’.
Semua yang ia lakukan
menghasilkan kebahagiaan bagi dirinya karena semua dilakukan dengan cinta dan
keikhlasan kepada Allah yang telah menganugerahi kenikmatan ini. Sebagaimana
diabadikan dalam Al Quran :
“..karena kecintaan kepada-Nya, mereka
menafkahkan harta kepada kaum miskin, anak yatim, ibnu sabil, peminta-minta……”
“…karena kecintaan kepada-Nya,
mereka memberikan makanan kepada orang miskin, anak yatim dan tawanan…”
Pada tingkat pemikiran seperti
ini, seseorang tidak lagi mendambakan balasan dari penerima bantuan bahkan
ucapan terima kasihpun tidak ia harapkan : “Sesungguhnya kami memberikan
makanan kepada kalian karena cinta kami kepada-Nya sehingga kami tidak pernah
mengharap balasan bahkan (sekedar) ucapan terima kasih…”