5 Februari 2018
Saat anda berjalan menembus malam
di sebuah jalan yang sulit dilalui karena penuh dengan lubang dan retakan di
sana sini, saat itu anda akan sangat membutuhkan pancaran cahaya bulan untuk
menerangi jalan yang anda lalui, sekaligus menjaga anda dari tergelincir ke
dalam lubang-lubang itu. Jika sinar bulan telah membuai mata anda dengan
keindahan dan keanggunannya, terutama saat purnama tiba, maka pandangan anda
akan tertuju pada keindahannya hingga anda akan berada dalam buaian khayalan
yang memberikan kenikmatan jiwa yang dalam.

Namun, keindahan bulan itu
seringkali membuat anda lupa daratan hingga tidak menyadari adanya lubang
menganga di depan anda dan akhirnya anda tergelincir dan mengalami kerugian.
Seperti itulah sirah (perjalanan
hidup) Ahlul Bait as. yang tidak ubahnya bulan purnama yang bersinar indah dan
menerangi jalan kehidupan yang kita lalui. Namun masih banyak diantara kita
yang terbuai oleh keanggunan dan keindahan sirah nan suci itu dan hanya
melahirkan konsep dan emosi. Mereka tenggelam dalam kekaguman akan sosok para
imam pembawa hidayah itu dan emosi mereka tercurah dalam kekaguman itu. Pada
saat yang sama mereka lupa bahwa kekaguman itu harus diwujudkan dengan cara
menauladani perjalanan hidup mereka. Hal ini yang menyebabkan mereka luput dari
kesempatan meraih anugerah hidayah yang menjadi senjata dalam menghadapi
berbagai tantangan hidup dan menghindari bencana.
Tidak diragukan lagi bahwa
kemurnian dan keindahan yang mewarnai perjalanan hidup Ahlul Bait as. selalu
melahirkan kekaguman dan kerinduan. Namun semua itu tidak boleh menggantikan
kesempatan untuk menauladani perjalanan itu dan meraih nikmat hidayah. Legih
dari itu, kerinduan dan kekaguman itu harus melahirkan semangat kepada kita
untuk meraih petunjuk mereka agar sinarnya menerangi jalan kita.
Dalam riwayat Ahlul Bait as. kita
mendapati penegasan bahwa hubungan dengan mereka haruslah dibangun berdasarkan
kaidah ittiba’ (mengikuti) dan iqtida (menauladani), bukan hanya luapan emosi
semata.
Sejatinya, jika pandangan kita
terhadap Ahlul Bait as. seperti pandangan terhadap sebuah lukisan indah yang
tergantung di dinding jaman, dimana kita mengagumi keindahannya yang
menakjubkan atau bagai sepotong barang langka tak ternilai harganya yang
dipamerkan di museum-museum sejarah tanpa menciptakan refleksi dan kesan dalam
kehidupan kita maka hal itu merupakan sikap tajahul (tidak peduli) terhadap
tugas dan peran terpenting Ahlul Bait as. yaitu sebagai pemimpin dan pembawa
petunjuk bagi umat manusia.
Sungguh Ahlul Bait as. adalah
manusia-manusia yang layak mendapatkan pujian dan penghargaan karena mereka
adalah pemilik keutamaan dan kemuliaan. Bahkan Allah telah memuji mereka
sebagaimana termaktub dalam kitab-Nya, demikian juga melalui lisan Nabi-Nya
yang jujur lagi dapat dipercaya.
Hal yang akan menggembirakan hati
Ahlul Bait as. adalah ketika kita berusaha mengenal ajaran serta berjuang
mengikuti jejak mereka dan bukan kelalaian dalam buaian keagungan dan pujian
atas mereka.
Imam Shadiq as. pernah berkata:
"Jadilah kalian para dai (penyeru) kami tapi tidak hanya dengan mulut
kalian saja...!"