4 Februari 2018
Mengapa dalam shalat
kita selalu mengulang-ulang kalimat ‘tunjukkanlah kepada kami shirat al
mustaqim (jalan yang lurus)’?, bukankah sebagai muslim kita telah berada pada
jalan yang lurus?, apakah berarti kita meragukan jalan yang sekarang kita
tempuh dan kemungkinan kita berada dalam kesesatan?

Setiap saat manusia
berhadapan dengan bahaya penyimpangan dari jalan lurus ini hingga ia selalu
mengulangi kalimat ‘tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus’.
Sejatinya, yang lebih
dituntut dan menjadi masalah lebih penting bukan hanya menyingkap jalan lurus
dan berjalan diatasnya tapi bagaimana kita menjaga istiqamah (konsistensi)
untuk tetap berjalan dan melanjutkan perjalanan diatasnya.
Sesungguhnya Allah
telah menarik perhatian kita supaya kita berusaha senantiasa terjaga dan
selamat dari penyimpangan dan kesesatan setelah sebelumnya memperoleh petunjuk.
Allah mengajarkan kepada kita untuk mengucapkan: “Ya Tuhan Kami, janganlah
Engkau jadikan hati Kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk
kepada Kami, dan karuniakanlah kepada Kami rahmat dari sisi Engkau; karena
sesungguhnya Engkau-lah Maha pemberi (karunia)” Q.S. Ali Imran:8
Dalam kesempatan lain,
Allah swt. Menceritakan kepada kita tentang seorang ulama besar dari kalangan
Bani Israil, Bal’am bin Ba’ura, sebagai contoh yang buruk dari terjatuhnya
seorang manusia ke kubang kekafiran dan kesesatan setelah sebelumnya berhiaskan
hidayah dan keshalihan. Allah berfirman: “…dan bacakanlah kepada mereka
berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami, kemudian Dia
melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu Dia diikuti oleh syaitan (sampai
Dia tergoda), maka jadilah Dia Termasuk orang-orang yang sesat. Jikalau Kami
menghendaki, Sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu,
tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah,
maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya
dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Yang demikian
itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami, maka
ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir”. Q.S Al
A'raf : 175-176
Bukankah sebelumnya
Iblis adalah ahli ibadah dengan khusuk yang kerenanya Allah mengangkat
derajatnya hingga setara dengan para malaikat, padahal ia dari golongan jin
sebagaimana firman Allah: “Ia enggan bersujud dan ia dari golongan jin”?.
Karena satu penyimpangan ia berubah menjadi symbol bagi kebinasaan dan
kesesatan hingga hari kiamat (padahal sebelumnya ia telah beribadah kepada
Allah selama 6000 tahun, dengan hitungan tahun duniawi atau tahun akhirat tidak
ada yang tahu sebagaimana pernah dikatakan oleh Imam Ali as.)
Dalam perjalanan
sejarah, telah banyak riwayat yang membicarakan tentang beberapa contoh manusia
yang mengalami kejatuhan dan penyimpangan, padahal sebelumnya ia telah menempuh
jalan yang panjang dalam petunjuk dan keshalihan. Salah satunya adalah
Barshisha, seorang hamba yang memiliki sifat zuhud dan menjadi tauladan dalam
kekhusyukan dan kerendahan hati bagi sebuah masyarakat Bani Israil. Karena
keutamaan dan kedudukannya di sisi Allah swt. maka doanya-doanya selalu
terkabul. Bahkan orang-orang gila dan orang-orang sakit mendapatkan kesembuhan
melalui tangannya dan dengan ijin Allah.
Namun, saat suatu hari
ia kedatangan seorang perempuan cantik dan terhormat namun gila sehingga ia
ditinggalkan oleh saudara-saudaranya di salah satu tempat peribadatannya agar
Allah menyembuhkannya dengan berkah nafas dan doanya.
Dalam sekejap, ahli
ibadah dan sangat menjaga diri pun melakukan dosa bersama perempuan yang sakit
dan gila itu. Ia menyadari akibat perbuatannya dan khawatir perempuan itu
hamil. Betapa aib dan malu akan ia tanggung. Maka ia berniat untuk membunuh perempuan
itu dan menguburkan mayatnya di padang pasir agar ia lolos dari aib
perbuatannya.
Namun, perbuatan itu
segera terbongkar, tidak ada tempat menyelamatkan diri dan diapun menjadi
terdakwa setelah investigasi menyeluruh hingga ia mengakui perbuatannya di hadapan
pengadilan. Maka ditetapkanlah hukuman baginya yaitu disalib hingga mati dengan
dua tuduhan kejahatan: berbuat zina dan melakukan pembunuhan.
Dalam keadaan disalib
pada sebuah palang kayu sambil menunggu saat kematian yang akan membebaskannya
dari segala aib dan kehinaan, syetan mendatanginya dan berbisik: “Aku yang
menjerumuskanmu dalam keadaan ini, maka sujudlah kepadaku maka aku akan
membebaskanmu!”. Berkatalah hamba pendosa ini menyambut seruannya: “Bagaimana
aku sujud padamu sedangkan beginilah keadaaanku?”, “Isyaratkan saja dengan
anggukan kepalamu!”.Maka iapun menundukkan kepala tanda sujud kepada syetan. Ia
menghembuskan nafas terakhirnya dengan mengikuti syetan.
Telah berakhir
hidupnya dengan tangan berlumur dosa yang paling keji. Ia melakukan zina,
pembunuhan dan mengingkari Allah dengan bersujud kepada Iblis. Padahal
sebelumnya ia adalah seorang hamba yang doa-doanya selalu dikabulkan Allah.
Begitulah nasib
manusia, meski dengan derajat tinggi yang dimiliki namun tetap ia berhadapan
dengan potensi jatuh dan menyimpang dalam setiap langkah kehidupannya.
Karenanya Rasul saw. bersabda: “Seorang mukmin akan selalu merasa takut akan
akhir buruk dan tidak pernah yakin akan sampainya kepada ridha Allah hingga
saat ruh keluar dari jasadnya”.