DS053-MENGAPA DOAKU TAK KUNJUNG TERKABUL...?


Berdoa tanpa meminta
Banyak pendoa yang masih belum memahami hakikat sejati dari doa-doanya yang mengakibatkan  kehilangan makna substantif dari doa yang ia panjatkan. Saat ini, doa lebih sering dipahami sebagai sekumpulan permintaan hamba kepada Dzat maha kaya dan pemurah. Pemahaman ini menciptakan gambaran bahwa doa hanya dipanjatkan saat hamba membutuhkan pemberian atau pertolongan-Nya. Bisa dipastikan, aktifitas dan ritual doa akan berakhir dengan terkabulnya permintaan dan akan dilakukan lagi saat dirasa perlu.
Untuk memahami hakikat doa, kita buat analogi sederhana di bawah ini:
Jika anda memiliki seorang  teman baik yang  selalu mengerti apa yang anda butuhkan. Dia sangat peka dengan kondisi anda sehingga selalu memberi  bahkan sebelum anda meminta. Dalam keadaan seperti ini, apakah anda tega dan  tidak merasa malu meminta sesuatu padanya?. Tentu Nurani anda akan melarang anda  melakukan itu dan menganggap  permintaan anda sebagai penghinaan atas segala  kebaikan hatinya selama ini.
Sejatinya, doa adalah kata dalam bahasa Arab yang berasal dari kata da’aa atau yad’uu yang artinya menyeru atau memanggil. Makna tersebut sangat berbeda dengan makna doa yang selama ini kita pahami bahwa doa adalah thalab atau su-aal yang berarti meminta atau memohon. Barangkali semua sepakat bahwa sebuah permintaan hanya ditujukan kepada pihak yang tidak memberi kecuali setelah kita meminta. Karenanya, jika seorang pendoa meyakini bahwa Allah adalah Dzat yang telah memberi apa yang dibutuhkan sebelum ia merasa membutuhkan dan meminta, maka apa yang ia harapkan dari doa-doa kepada-Nya?, bukankah doa-doa itu terkesan menafikan kasih sayang-Nya selama ini hanya karena ambisi hamba yang berlebihan?.
Dengan kata lain, apakah tujuan dan hakikat daripada doa yang kita panjatkan jika bukan meminta?
Dengan sangat indah Al Quran menjelaskan:

“Jika kalian bersyukur maka akan Kutambahkan (nikmat-Ku) bagi kalian dan jika
kalian ingkar maka sesungguhnya azabku teramat pedih”  (Q.S. Ibrahim:7)

Ayat tersebut dengan jelas menekankan betapa harus ada kombinasi antara keinginan hamba dan keterjagaan syukurnya atas nikmat. Mengingat banyaknya permintaan dan keinginan seringkali menjauhkan kita dari syukur nikmat yang merupakan panggilan fitrah manusia. Ayat tersebut juga menjelaskan bahwa sejatinya doa bukanlah permintaan, apalagi kepada yang maha memberi, tapi doa lebih tepat disebut sebagai ungkap syukur atas nikmat yang selama ini telah terlimpah. Dengan syukur itu, Allah akan menambahkan nikmat-Nya. Hal ini mengajarkan pelajaran yang sangat berharga bahwa kita berdoa dengan mengharapkan apa yang memang kita butuhkan dan bukan apa yang kita inginkan. Syukur adalah berserah diri agar Sang Pemurah memilihkan untuk kita apa yang terbaik di mata-Nya dan bukan terbaik menurut hawa nafsu kita yang sulit dipuaskan.
Walhasil, sejatinya kunci pembuka pintu rejeki masa depan adalah syukur dengan apa yang dimiliki hari ini.
Perlu diingat, pengertian ini tidak bertentangan dengan perintah doa dalam Al Quran maupun hadits Nabi. Doa-doa tetap kita panjatkan sebagai bentuk amaliyah yang mewakili kesungguhan dan tekad harapan, hanya saja harus ada ruh kepasrahan syukur yang merupakan dasar dari setiap doa yang kita panjatkan hingga apapun bentuk ijabahnya merupakan keindahan yang layak disyukuri.

Berdoa Dengan Ma’rifat
Dari keterangan diatas kita memahami bahwa dalam berdoa, seorang hamba harus membekali diri dengan  ilmu dan ma’rifat akan doa yang ia panjatkan agar lisan dan hati menyatu di dalamnya. Dimulai dengan yang paling sederhana yaitu memahami makna meski lahir secara global yang diharapkan akan menambah nilai dalam doa-doanya. Bagaimanapun, akan sangat sulit mencapai kekhusukan jika kita sendiri tidak memahami apa yang kita panjatkan. Selain itu sebaiknya hamba juga melakukan visualisasi doa yang merupakan konsekwensi keakraban kita terhadap hal-hal materi. Maksud dengan visualisasi doa adalah menggerakkan fisik kita seiring dengan lantunan doa. Seperti melafadzkan niat, mengangkat tangan, menengadahkan wajah dan sebagainya. Hal ini penting karena manusia selalu lebih akrab dengan hal-hal inderawi sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Mulla Sadra, al insan yasta-nisu bil mahsuusaat..
Selanjutnya, meningkatkan pemahaman harus dilakukan dengan belajar merasakan bahasa doa, dimana didalamnya terdapat kedalaman makna yang lahir dari bahasa-bahasa ruhani. Bahasa doa adalah bahasa rintihan dan lahir dari rasa yang mendalam sehingga dalam beberapa untaian terkadang terasa berat untuk ditelaah dengan bahasa prosa kita. Seperti yang kita temukan dalam untaian doa Kumail bin Ziyad dimana beberapa rintihan terasa sulit untuk ditelaah dengan logika bahasa keseharian. Dalam doa tersebut, si pendoa berseru: “Ilahi, mungkin aku siap menerima neraka-Mu namun bagaimana aku tahan berpisah dari-Mu?”, yang secara prosa menyiratkan kesombongan hamba dalam memandang neraka. Padahal dalam kontek doa, hal itu merupakan puncak keputus asaan hamba atas kemustahilan selamat dari neraka jika bukan karena kasih sayang Tuhannya.
Doa adalah penyatuan hamba dengan Tuhannya sebagaimana akan dijelaskan pada pembahasan tentang macam- macam pendoa, insyaallah.

Doa Ma-tsur
Berdoa merupakan wasilah (fasilitas) komunikasi antara hamba dan Tuhannya. Apalagi jika doa yang kita panjatkan memiliki redaksi dan sanad yang bisa dipertanggungjawabkan sehingga menjadi password untuk bisa tembus ke langit ijabah. Doa seperti itu dikenal dengan doa yang ma-tsur alias memiliki atsar atau jejak yang jelas dan bias dipertanggungjawabkan.
Meskipun bukan berarti redaksi doa selain ma-tsur tidak memiliki nilai, hanya saja doa ma'tsur lebih memberikan nilai ithmi-nan (kemantapan) yang menenangkan bagi pendoa, mengingat lafadz dalam tarkib (susunan) sebuah doa yang bukan ma-tsur boleh jadi tidak sesuai dengan kedudukan pendoa yang dipenuhi tendensi dan dorongan syahwat dalam doa-doanya.
Dengan kata lain redaksi doa yang bersanad jelas merupakan sarana paling aman dan efektif untuk meraih ijabah. Dalam doa ma-tsur ada jaminan keabsahan redaksi yang menghindarkan kita dari penggunaan lafadz yang tidak seharusnya.
Selain itu, doa ma-tsur diyakini memiliki nilai lebih yaitu berkah sanad yang memiliki potensi mempercepat dikabulkannya doa kita. Berkah sanad adalah nilai spiritual ittiba’ (mengikuti shalihin) yang memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah sehingga dengan berkah itu doa lebih mudah mencapai maqam ijabah.

Tiga tipe pendoa
          Berdasarkan beberapa keterangan diatas, paling tidak kita menemukan ada tiga tipe orang yang berdoa:
1.     Tipe pembaca teks doa.
Dimana ia hanya membaca teks doa merasakan sentuhan doa tersebut di hatinya. Jangankan sentuhan, dia bahkan tidak paham apa yang ia baca. Baginya, berdoa tidak lain seperti formalitas fikih yang merupakan kewajiban dan identitas keberagamaannya. Biasanya, ia sibuk berkutat dengan jumlah-jumlah bacaan hingga kehilangan substansi doa itu sendiri. Sekali lagi, bukan berarti jumlah bacaan tidak memiliki manfaat karena jumlah-jumlah tertentu dalam bacaan doa juga merupakan aturan yang menjamin ijabah. Namun kesibukan dalam menghitung jumlah bacaan jangan sampai mengalahkan kekhusukan dan tawajjuh (fokus) kepada Allah.
2.     Tipe peminta dalam doa
Meminta adalah anjuran Allah pada hamba-Nya saat berdoa atau dalam segala kondisi. Sesungguhnya Allah sangat menyukai orang yang tak kenal lelah meminta kepada-Nya. Bukankah Allah juga berfirman: Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan!.
Akan tetapi tipe pendoa ini rentan untuk mengalami kondisi putus asa mengingat manusia selalu memiliki target, baik kwalitas maupun kwantitas, dalam setiap permintaannya.
Ia juga berpotensi mengalami kehilangan rasa syukur akibat permintaan yang dikabulkan tidak sesuai dengan ekspektasinya.
Tipe pendoa seperti ini lebih mengharapkan pengabulan atas apa yang ia inginkan dan bukan yang ia butuhkan. Kebaikan di matanya seringkali berbeda bahkan bertolak belakang dengan kebaikan dimata Tuhan. Dan berbaik sangka bagi pendoa seperti ini bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan meski lisan mengucap syukur.
Tidak menutup kemungkinan kondisi ini menciptakan kemunafikan hati yang harus selalu dihindari agar tidak menyiksa batin dan merusak keimanan.
3.     Tipe orang yang bermesraan dengan Allah lewat doa
Ia melihat doa sebagai sarana melepas kerinduan dengan kekasihnya. Baginya, doa adalah nikmat yang tidak bisa dibandingkan dengan apapun. Kebalikan dari tipe pertama, permintaan baginya hanyalah formalitas dan sarana untuk berasyik ma’syuk dengan Allah. Doa, baginya, adalah penyatu hati dan pikiran dengan Tuhannya. Saat ia berdoa, seakan ia lupa akan permintaannya. Semua dikalahkan oleh kenyamanan dan ketenangan yang tidak bisa dibandingkan dengan apapun. Karenanya, lafadz-lafadz doa yang terlantun pun memiliki nuansa spiritual yang tinggi hingga terkadang sulit bagi kita untuk memahami. Karena semua itu hanya untuk dirasakan dan bukan dipahami. Baginya, berdoa adalah perjalanan ruhani yang menyenangkan, terlepas dari segala permintaan bahkan pengabulan atas permintaan-permintaannya itu. Lebih dari itu, ia merasakan permintaan-permintaan itu sebagai beban yang membebani langkah kakinya untuk lari menuju kepada Allah. Itulah pengalaman ruhani yang dirasakan oleh para kekasih Allah yang pertemuan dengan-Nya selalu jadi momen dan hadiah terindah dalam hidupnya.

Kesimpulan:
Terkadang kita merasa doa kita tidak diijabah dan kita tidak sadar bahwa ternyata kita tidak pernah berdoa, hanya membaca teks doa atau hanya meminta keperluan kita melalui doa.
Ya Tuhanku jika dosaku tidak pantas meraih ampunan-Mu
…aku yakin ampunan-Mu pantas mendatangi dan melingkupiku

Semoga Allah menerima ungkapan kemesraan ini……amin.....!

No comments

Powered by Blogger.