DS034- RUMAHKU SURGAKU


Mungkin kita sering mendengar pepatah yang mengatakan baiti jannati (rumahku adalah surgaku) yang berarti rumah adalah tempat yang berisi kenikmatan tiada tara.
Tapi apakah kita tahu mengapa rumah kita adalah surga kita. Ayo kita coba bahas dan cari tahu alasannya.
Ada 3 wujud yang sering disebutkan dalam masalah surga :

1.      Allah 'Azza Wa Jalla yang mewakili kebijaksanaan dalam kealiman ('alimun hakim)
2.      Malaikat yang mewakili ketaatan dalam amanat (Mutha'un tsamma amiin)
3.      Hamba-hamba yang shalih mewakili keshalihan (Ash Shalihun)

Barangkali tidak berlebihan apabila kita membuat analogi dalam keluarga bahwa ketiganya bisa diwakili oleh wujud:

1.      Suami. Seorang ayah harus memiliki sifat jalaliyah yaitu sifat yang bersumber dari nilai-nilai kekuatan, ketegasan, ketabahan dan semua sifat maskulin karena ia harus bertanggung jawab atas perjalanan bahtera keluarga (kuu anfusakum wa ahliikum naaran). Dalam ayat lain Allah berfirman:
ُلْ إِنَّ الْخَاسِرِيْنِ الَّذِيْنَ خَسِرُوْا أَنْفُسَهُمْ وَأَهْلِيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَلا ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِيْنُ) سورة الزمر، الآية: 15

Katakanlah,  sesungguhnya orang-orang yang merugi adalah yang merugikan diri dan keluarganya. Ketahuilah bahwa itulah kesesatan yang nyata (Q.S. Zumar: 15)

Ia tidak hanya bertanggung jawab atas masalah ekonomi saja, lebih dari itu ia harus berusaha menjadi penggembala yang bertanggung jawab atas gembalaannya dan mengantarkan menuju ridha-Nya, setiap kalian adalah penggembala dan akan dipertanyakan bagaimana gembalaannya (kullukum raa'in wa kullukum mas-uulun 'an ra'iyyatihi)
Namun perlu diingat bahwa kekuatan ini bukan satu-satunya kekuatan yang harus dimiliki seorang kepala rumah tangga. Karena ia juga harus memiliki kekuatan logika dan kebijaksanaan. Dengan kekuatan itu, seorang pemimpin rumah tangga mengarahkan kekuatannya menuju mashlahat keluarga. Bukankah Allah juga bersifat alimun hakim (mengetahui lagi maha bijaksana)?
2.      Isteri. Adalah malaikat rumah tangga yang menjadi simbol ketaatan. Kehalusannya menyeimbangkan kekuatan yang dimiliki suami. Disaat kekuatan yang besar tidak bisa dibendung dengan tembok apapun, kelembutan memang tidak akan menghadangnya, ia akan mencairkan kekuatan itu sehingga menjadi tenang dan damai. Sebagaimana malaikat, kadang ia bertanya tentang keputusan Allah. Namun bukan untuk menentang, hanya memberikan pandangan dalam mengambil keputusan. Karena terkadang satu perkara tidak bisa diselesaikan hanya dengan mantiq dan filsafat karena banyak masalah yang hanya bisa diselesaikan dengan kelembutan dan sentuhan hati.
3.      Anak. Adalah wujud keshalihan yang lahir dari suami isteri yang melaksanakan kewajiban masing-masing. Keshalihannya adalah cerminan dari keshalihan kedua orang tuanya. Anak harus melihat orang tua bukan sebagai suami dan isteri tapi sebagai ibu dan bapak atau sebagai sepasang guru hyang bersinergi. Di era globalisasi, banyak sekali anak yang melihat orang tua mereka tidak lebih sebagai pasangan suami isteri. Tidak ada sentuhan kelembutan yang ia rasakan sehingga kelembutan juga tidak tumbuh dalam dirinya.
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Tiada seorang anak yang lahir kecuali dalam keadaan suci hingga kedua orang tuanya menjadikannya yahudi, nashrani atau majusi

Sebagai orang tua, kitalah yang harus bertanggungjawab membentuk anak-anak kita agar mendekatkan diri kepada Allah. Tidak hanya dengan kata-kata  tapi juga dengan perbuatan dan usaha nyata. Sia-sia saja seluruh nasehat kita terhadap anak-anak kita apabila kita tidak menunjukkan bahwa itulah yang kita lakukan sebagai keyakinan.

Sejatinya, dakwah adalah berbagi kenikmatan iman. Akan sangat tersiksa ketika seseorang yang menyampaikan dan mengajak kepada sesuatu yang tidak ia yakini.
Syahid Muthahhari berkata: "Kegagalan kita dalam mengajak lebih dikarenakan kita selalu mendahulukan mulut dan telinga padahal seharusnya kita mendahulukan tangan dan mata".
Maka berusahalah untuk menunjukkan dan bukan mengajari, sebagaimana disebutkan dalam riwayat, birru aabaa-ukum tabarukum abnaa-ukum (berbaktilah kepada orang tua kalian hingga anak-anak kalian berbakti kepada kalian!”
Biarkan mereka mengambil pelajaran dari bakti kita kepada orang tua kita dan kita tidak perlu mengajarkannya melalui kata-kata yang terkadang dianggap terlalu menggurui.

Antara fiqih dan akhlak kasih sayang
Allah 'azza wa jalla telah menanamkan fitrah yang berbeda dalam diri laki-laki dan perempuan sehingga ketika keduanya bersatu, masing-masing memiliki kewajiban yang berbeda. Masing-masing harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang digariskan.
Rasulullah pernah datang ke rumah Fathimah as. satu hari setelah pernikahannya dengan Imam Ali as. untuk memberikan restu dan menyampaikan kewajiban suami isteri:
"يا زهراء، إن أعمال المنزل، من قبيل الخبز أو طحن الشعير والحنطة، وتنظيف الدار، ورعاية الأطفال سهمك؛ أما سهم أمير المؤمنين (ع) فيتمثل في تهيئة الحطب، وجلب الماء، وترتيب ما يحتاجه المنزل من مواد أخرى تجلب من خارج المنزل". بعدها، تفوهت فاطمة الزهراء (ع) بهذه العبارة التي ينبغي أن تلزمها كل المؤمنات وهي:
"لا يعلم إلا الله ما داخلني من السرور في هذا الأمر"[1].

Wahai Zahra, sesungguhnya pekerjaan rumah tangga semisal membuat roti, menggiling gandum, membersihkan rumah dan menjaga anak-anak adalah saham (pahala)mu. Sedangkan saham Amirulmukminin adalah menyiapkan kayu bakar, mengambil air dan menyediakan kebutuhan rumah tangga seperti bahan makanan yang didapat di luar rumah”. Setelah itu Fatimah mengucapkan kata-kata yang harus diperhatikan bagi setiap perempuan: “Hanya Allah yang tahu akan kebahagiaan yang kurasakan dengan urusan (pembagian saham) ini”.
Pembagian tugas diatas adalah pembagian tugas regular sesuai tuntunan fikih yang berbicara mengenai hak dan kewajiban. Namun ada dimensi lain yang sering dilupakan yaitu dimensi kasih sayang kepada pasangan yang selalu melampaui dimensi hak dan kewajiban.
Betapa bahagia ketika suami isteri menjadi pasangan yang saling menyayangi, saling membantu dan tanggung jawab keluarga dipikul bersama. Jika masing-masing hanya berpegang kepada tanggung jawab fiqih saja, niscaya akan merugilah pasangan itu. Mereka akan kehilangan keindahan rumah tangga yang menjadikan hubungan cinta itu kekal.
Bukankah Allah berfirman:
 (إن الله يأمر بالعدل والإحسان) سورة النحل، الآية: 90.
Ssesungguhnya Allah memerintahkan agar berbuat adil dan ihsan”. (Q.S. An Nahl: 90)
Secara garis besar, ihsan adalah melakukan sesuatu diatas regulasi (keadilan) dengan mendahulukan nilai-nilai keutamaan yang mengangkat derajatnya
Dengan demikian menjadi jelas bahwa penerapan undang-undang hak dan kewajiban suami isteri harus dihiasi dengan cinta dan saling berbagi diantara keduanya.
Karena itu meskipun seorang suami adalah kepala rumah tangga tapi hal itu tidak berarti bahwa ia menutup mata dari pekerjaan rumah tangga disaat isteri membutuhkan bantuan.
Suatu hari Rasulullah pergi ke rumah Fathimah. Sesampai disana beliau melihat Ali bin Abi Thalib as. sedang membersihkan rumah. Rasul merasa bahagia melihatnya, seraya berkata:
"يا علي، من أعان زوجه على عمل في المنزل، كان له ثواب عمرة".
Wahai Ali, barangsiapa yang membantu isterinya dalam pekerjaan rumahnya maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang melakukan umrah


[1] (7) هذه الرواية مع بعض التغيير والإضافة موجودة في ج10 من بحار الأنوار ص24 ـ 25 وقد ذكرت هذه الجملة مكان الجملة التي ذكرناها في المتن "سررت كثيراً لأن رسول الله (ص) عفا عن مشاركتي الرجال أعمالهم

4 comments:

Powered by Blogger.