DS049-TAWASSUL ANTARA IFRATH DAN TAFRITH (BAG. 1)
Makna tawassul
Tawassul berakar kata wasilah atau perantara sehingga tawassul secara lughawi (bahasa) adalah mengusahakan perantara dalam menuju sebuah tujuan utama.
Menurut istilah ilmu kalam, tawassul adalah usaha seorang hamba untuk 'mendekati' Allah melalui wasilah (perantara) yang ditetapkan oleh Allah sebagai penjambatan penghubung antara dua dzat yang mustahil dibandingkan.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa sebagian kaum muslimin beranggapan bahwa tawassul adalah meminta kepada selain Allah SWT dan jatuhnya adalah syirik. Kurangnya pemahaman mereka akan hakikat tawassul menjadikan mereka dengan mudah menjatuhkan tuduhan hina itu kepada pihak-pihak yang mempraktekkannya.
Menurut istilah ilmu kalam, tawassul adalah usaha seorang hamba untuk 'mendekati' Allah melalui wasilah (perantara) yang ditetapkan oleh Allah sebagai penjambatan penghubung antara dua dzat yang mustahil dibandingkan.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa sebagian kaum muslimin beranggapan bahwa tawassul adalah meminta kepada selain Allah SWT dan jatuhnya adalah syirik. Kurangnya pemahaman mereka akan hakikat tawassul menjadikan mereka dengan mudah menjatuhkan tuduhan hina itu kepada pihak-pihak yang mempraktekkannya.
Telah terjadi tafrid dan ifrad di
dalam masalah tawassul ini. Atau dua kutub ekstrim yang mewakili dua pandangan
umum terhadap masalah ini
Satu kutub dengan tegas mengharamkannya
secara mutlak dengan menganggapnya sebagai ritual manusia meminta kepada
manusia lain padahal setiap manusia harus minta secara langsung kepada Allah
SWT, tidak boleh melalui perantara manusia atau makhluk yang lain yang akan
menjerumuskan kedalam lembah kemusyrikan.
Sementara, pada kutub yang berlawanan,
sekelompok orang terjerumus ke lembah ifrath, dimana sekelompok
orang gemar melakukan ritual tawassul tanpa mengetahui siapa dan bagaimana
manusia yang menjadi perantara antara manusia dengan Allah. Untuk
mencapai kepada Allah, mereka mendatangi makam-makam yang dikeramatkan tanpa
mengetahui apakah yang terkubur di dalamnya adalah manusia-manusia yang bisa
menjadi perantara antara mereka dengan Sang Pencipta.
Hal ini mengingatkan saya kepada apa yang
disampaikan oleh syekh Tijani Samawi di dalam kitabnya. Beliau mengatakan:
“Kam min
kuburin tuzar wa ahluha min ahlin naar”.
Berapa banyak
kubur yang diziarahi, sementara yang di dalamnya itu adalah ahli neraka.
Dengan kata lain, banyak manusia yang
tidak memiliki ma'rifat dan ilmu akan hakikat tawassul ini sehingga, alih-alih
mendekatkan kepada Allah, perbuatan mereka hanya akan memperpanjang jarak
dengan-Nya. Di sisi lain, kondisi ini berpotensi menumbuhkan pandangan negatif
dari pihak-pihak yang tidak sepaham dengan konsep wasilah ini. Mereka
lupa bahwa tawassul merupakan ritual sakral yang harus mendapat ijazah Allah
sehingga manusia-manusia yang menjadi perantara haruslah merupakan pilihan
Allah.
Apalagi jika kita menilik bahwa redaksi
tawassul mengandung makna meminta, seperti: Ya Wajihan
‘indallah, isyfa’lana ‘indallah (wahai yang punya kedudukan di sisi Allah,
syafa'ati kami di sisi-Nya!). Sedangkan manusia hanya boleh meminta
kepada Allah, iyyaaka na'budu wa iyyaaka nasta'in (hanya pada-Mu kami
mengabdi dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan). Hal ini tidak berarti
kontradiksi, sebaliknya, memberikan penjelasan bahwa tawassul adalah amalan
suci yang kekuatannya terletak pada ridha dan ijin-Nya. Jika tidak maka hal ini
sama dengan meminta kepada selain Allah dan tanpa ridha-Nya sehingga jatuh pada
kemusyrikan. Jadi tawassul kepada Allah hanya melalui manusia-manusia yang
mendapat ijazah untuk menjadi perantara antara Allah dan hamba-Nya.
Jadi, berdasarkan pengertian diatas maka kita meyakini bahwa tawassul tidak dilarang bahkan
dianjurkan dalam agama agar permohonan kita sampai kepada Allah, namun harus
diingat bahwa tawassul hanya kepada manusia-manusia yang diijinkan Allah untuk
menjadi perantara-Nya, Bukankah Allah telah berfirman: Man dzalladzi
yasyfa'u 'indahu illa biidznih (Siapa yang berhak mensyafaati di sisi-Nya
selain dengan ijin-Nya?
Pembahasan yang berhubungan dengan ifrath
dan tafrith dalam masalah ini menjadi penting karena kedua pandangan bertolak
belakang ini saling memperngaruhi jika kita memperhatikan nahwa keduanya
mewakili aksi dan reaksi.
Mendoakan siapapun yang telah mendahului
kita diperbolehkan bahkan menjadi anjuran agama. Namun dalam masalah tawassul yang
mengandung pengertian mencari jembatan penghubung antara kelemahan hamba dan ke’tidakterbatas’an
Allah SWT, haruslah dengan pertimbangan bahwa jembatan itu memang ‘dibangun’ oleh
Allah dengan tujuan itu. hablul mamdud minassamai ilal ardh, tali
penghubung antara langit dan bumi.
Ajaran Ahlul Bait Nabi, mengajarkan
keseimbangan dalam segala hal. Dalam masalah akidah, disaat satu kubu berfaham
jabariyah dan menganggap manusia tidak memiliki kebebasan dalam memilih nasib
hidupnya, di sisi lain muncul pemahaman tafidiyah yang menganggap bahwa manusia
memiliki ikhtiar bebas dalam pengertian penafian campur tangan Allah dalam
makhluk. Menghadapi kondisi pertentangan antara dua kubu ekstrim itu, Imam
Ja’far Shadiq as. bersabda, laa Jabra wa laa tafwidh wa laakinna amran baina
al amrain”, tidak jabariyah, tidak ada tafidiyah, tapi di tengah-tengah di
antara keduanya.
Barangkali kita masih ingat sebuah hadits
yang berbunyi, Khairul asyya ausathuha atau khairul umur ausathuha,
sebaik-baik urusan adalah yang di tengah (proporsional). Dan para Imam ahlulbait
as benar-benar menyampaikan kepada kita konsep – konsep yang jauh dari ekstrim.
Baik ekstrim kiri maupun kanan. Baik ekstrim dalam kurangnya, maupun ekstrim
dalam lebihnya.
Dalam masalah tawassul inipun para Imam
ahlulbait as mengajarkan kepada kita keseimbangan, bahwa tawassul itu tidak
dilarang, bahkan tawassul itu dianjurkan dan diperintahkan mengingat betapa
manusia ini terlalu kotor untuk meminta langsung kepada Allah SWT. Maka Allah
SWT menyediakan wasilah, menyediakan jembatan, untuk menyampaikan dia kepada
Allah SWT...
BERSAMBUNG
No comments