DS041-ISTIKHARAH, ANTARA KEPASRAHAN DAN KEMALASAN


Allah berfirman: “Tidak pantas bagi setiap mukmin laki-laki maupun perempuan jika Allah dan Rasul-Nya telah menentukan urusan mereka, mereka lebih memilih (putusan) selainnya” (Q.S. Al Ahzab: 36)

Manusia dan kebimbangan
            Manusia adalah makhluk yang diberikan kelebihan oleh Allah dalam bentuk kemampuan untuk mengambil keputusan secara inovatif dalam menanggapi beberapa opsi dalam kehidupannya. Dengan kelebihan tersebut manusia berusaha untuk memilih salah satu atau sebagian dari berbagai pilihan sikap yang terbaik menurutnya dalam menyelesaikan beragam masalah.

Namun demikian, kompleksitas permasalahan menjadikan tidak setiap identifikasi masalah berhasil pada kesimpulan hitam-putih dan gamblang. Seringkali manusia berada dalam kebimbangan untuk memutuskan diantara dua tindakan yang dipandangnya memiliki resiko dan manfaat yang relatif sama. Biasanya, pertentangan antara akal dan perasaan (baca: hawa nafsu) berperan besar dalam menciptakan kebimbangan ini. Di saat akal memberikan instruksi untuk mengambil satu sikap, perasaannya mengatakan sesuatu yang lain yang menjadikannya ragu dan tidak mampu memutuskan.
Di sini manusia memerlukan pihak yang dipercaya untuk memutuskan serta mengurai kebimbangannya dengan hasil yang bergaransi. Pihak itu adalah Allah yang Maha Mengetahui dan sebaik-baik pengambil keputusan.

Makna Istikharah

            Istikharah berasal dari kata kerja khaa-ra dan yakhiru yang berarti memilih. Darinya lahir kata ikhtiar yang berarti pilihan. Wazan (kerangka kata) istaf’ala-istif’aalatan telah merubah bentuk dasarnya menjadi istikhaaratan atau istikharah sebagaimana yang kita kenal hari ini. Perlu diketahu bahwa wazan istaf’ala-istif’aalatan bermakna permintaan untuk melakukan sesuatu, misalnya kata ghafara yang artinya mengampuni, ketika kata tersebut dipecah (di-musytaq) dan merubahnya sesuai kerangka diatas maka berubah menjadi istaghfara-istighfaaran yang artinya meminta ampunan.
Ada sesuatu yang unik secara lughawi (bahasa) dalam kata ini, yaitu bahwa kata istaghfara masdarnya adalah istighfaran tapi mengapa istakhara (dengan wazan yang sama) tidak menjadi istikhaaran tapi istikharatan (dengan ta marbuthah)
Masdar adalah kata benda bentukan dari kata kerja. Seperti dalam bahasa Indonesia kita sering merubah kata kerja menjadi kata benda abstrak dengan menambahkan awalan pe dan akhiran an, seperti memukul menjadi pemukulan dan sebagainya.
Dalam bahasa Arab (khususnya ilmu Sharaf) ada beberapa kerangka masdar yang masing-masing memiliki makna dan konotasi berbeda. Salah satunya adalah yang disebut masdar marrah yang diakhiri dengan ta marbuthah. Masdar marrah adalah masdar yang menunjukkan perbuatan yang dilakukan sekali saja. Sehingga besar kemungkinan keberadaan ta marbuthah dalam kata istikharah mengandung makna bahwa hal itu hanya boleh dilakukan sekali saja dalam satu masalah dalam satu masa dan tidak boleh diulang-ulang.

Istikharah, ritual sakral

            Makna istikharah diatas sesuai dengan pengertian istikharah sebagai langkah final dalam memutuskan apakah sebuah tindakan harus dilakukan atau ditinggalkan setelah berhadapan dengan jalan buntu dalam menentukan pilihan dari beberapa alternatif.
Sebuah keputusan final haruslah melalui tahap-tahap yang meyakinkan seseorang bahwa ia tidak memiliki sedikitpun kecenderungan kepada salah satu sisi alternatif. Selama ada kecenderungan kepada salah satu sisi, maka istikharah sangat tidak dianjurkan karena hanya akan menciptakan potensi kontra antara kepasrahan atas hasil istikharah dengan kecenderungan tersebut.

Istikharah adalah ritual suci dimana seseorang menyerahkan sebuah keputusan hidup yang (pastinya) sangat penting di tangan Allah. Karenanya, diperlukan kesiapan mental terutama untuk menerima apapun hasilnya. Dengan kata lain, sebelum melakukan istikharah, manusia harus memanfaatkan seluruh kemampuan akal serta fasilitas-fasilitas yang diberikan Allah kepadanya untuk menentukan ikhtiar dan pilihan sikap hidupnya. Itulah makna dari firman Allah: “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum hingga mereka berusaha merubah nasib mereka sendiri”.

Istikharah pengobat penyakit was-was

            Istikharah adalah jalan keluar dari kebimbangan yang menyiksa dan berkepanjangan. Cara ini merupakan kasih Allah kepada hamba-Nya untuk menghindarkannya dari serangan was-was saat ia berada dalam situasi membingungkan. Was-was adalah penyakit jiwa yang tidak ada obatnya selain dengan tidak mempedulikannya. Masalahnya adalah, secara teori hal ini mudah diucapkan akan tetapi menghindarkan diri dari was-was ini membutuhkan perjuangan besar dan tanpa henti mengingat tidak ada dalil dan argumentasi (aqli maupun naqli) yang mampu menggoyahkan keberadaannya. Dalam risalah fatwanya, Sayyid Ali Khamenei mengetakan bahwa satu-satunya cara menyelamatkan diri dari penyakit was-was adalah dengan kepasrahan dan tidak memperdulikannya. Misalnya, seseorang merasa was-was apakah wudhu yang ia lakukan sah atau tidak sehingga seringkali ia mengulang-ulang wudhu tanpa alasan yang jelas selain kecurigaan tak berdasar. Dalam kondisi itu, ia harus menganggap wudhunya sah dan pasrah kepada perintah Allah. Dalam hal ini, istikharah menjadi penyelemat dari penyakit jiwa yang sangat mengganggu.

Istikharah dan kemalasan berfikir kreatif

            Meski demikian tidak sedikit orang yang salah memahami hakikat istikharah sehingga menciptakan kondisi kontra produktif yang melunturkan nilai sakral dari amaliyah ini, yaitu dengan menjadikannya sebagai jalan keluar bagi kemalasan berfikir dalam menyelesaikan masalah. Mereka menjadikan istikharah sebagai pembenaran atas kemalasan berfikir dan berkreasi. Alternatif sederhana yang bisa dipilih dengan sedikit berfikir, mereka selesaikan dengan istikharah. Mereka lupa bahwa istikharah berlaku pada masalah-masalah yang memiliki urgensi tinggi dan tidak bisa diselesaikan setelah perjuangan maksimal dalam mendapatkan kepastian pilihan. Seringkali mereka sudah memiliki kecenderungan pada salah satu pilihan akan tetapi tetap melakukan istikharah.  Mereka adalah orang-orang yang tidak berani menanggung resiko wajar yang diterima dalam sebuah keputusan sehingga apa yang mereka lakukan mematikan kreatifitas. Yang mereka lakukan bukan kepasrahan tapi kemalasan atas nama kepasrahan. Bahkan dalam konteks agak ekstrim bisa kita katakana bahwa mereka berusaha menyerahkan tanggung jawab perbuatannya kepada Allah dan tidak menutup kemungkinan akan mengkambinghitamkan Allah dalam akibat-akibat keputusan istikharah yang dianggap tidak memihak kepentingan mereka.

Manfaatkan istikharah secara bijak agar kita mendapat solusi dalam setiap kesulitan tanpa mematikan kreativitas berfikir apalagi menyalahkan Allah dalam ketidakpuasan kita terhadap keputusan.

Semoga bermanfaat.    


No comments

Powered by Blogger.