DS037-MAKNA SEBUAH KESEMPURNAAN


Suatu hari seorang murid meminta kepada gurunya agar ditunjukkan jalan menuju kesempurnaan. Sang guru memerintahkan murid tersebut untuk berjalan melewati sebuah taman di sekitar tempat itu dan memberinya perintah agar si murid memetikkan untuknya setangkai bunga yang paling indah di taman itu tapi dengan syarat si murid harus melanjutkan perjalanannya dan tidak boleh kembali ke belakang. Perintah itu segera dilaksanakan dengan penuh semangat hingga ia sampai di taman yang dimaksud. Sesampai disana, si berjalan dengan arah memotong taman itu. Sesampai di salah satu bagian taman, ia melihat setangkai bunga yang sangat indah. Tentu saja hal itu sangat membahagiakannya. Tatkala ia ingin memetiknya ia berfikir: “Bunga ini memang indah tapi jangan-jangan bunga di depan sana lebih indah lagi”. Ia pun mengurungkan niat untuk memetik bunga indah itu dan melanjutkan berjalan hingga ke tengah bagian taman. Di sana ia menemukan bunga yang indah dengan warna yang menggoda untuk dipetik. Kembali ia berniat memetik bunga indah itu, namun sekali lagi ia berfikir, jangan-jangan buka di depan lebih indah lagi. Ia melanjutkan peerjalanannya tanpa memetik setangkai bungapun dengan harapan ia akan menemukan bunga yang lebih indah dari yang ia lihat sebelumnya. Namun apa yang terjadi tidak sesuai harapan karena hingga ujung lain taman itu ia tidak menemukan bunga yang lebih indah dari bunga yang ia tinggalkan karena mengharapkan bunga-bunga lain yang lebih indah.
Dengan lesu ia kembali kepada sang guru dan memberitahukan apa yang telah ia lakukan dan tentang kegagalan yang ia alami.
Sang guru hanya bisa tersenyum dan berkata: “Ketahuilah bahwa kesempurnaan sesuatu tidak akan dicapai dengan mencarinya seperti engkau mencari bunga yang indah. Kesempurnaan sejati hanya digapai dengan memahami kekurangan. Jika kekurangan itu adalah kekurangan diri maka sempurnakanlah dengan usaha memenuhi kekurangan, dan jika kekurangan itu ada pada selainmu maka jadikanlah sebagai sarana untuk memaklumi dan memaafkan kekurangannya”.
Sejatinya, kesempurnaan akan datang kepada siapapun yang mampu melihat kekurangan dirinya dan berusaha memperbaikinya.
Kisah diatas mengingatkan kita akan sebuah peristiwa dimana seorang murid bertanya kepada Alm. Ayatullah Behjat tentang cara agar bisa bertemu dengan Rasulullah atau para Imam Ahlul Bait. Beliau menjawab: “Jangan kamu berusaha menemui mereka. Banyak-banyak berbuat amal shalih dengan ikhlas niscaya mereka yang akan mendatangi kamu!”
Sesungguhnya manusia harus melalui tiga tahap amaliyah untuk mencapai kesempurnaan diri. Tahap-tahap itu adalah:
1.      Syariat, yaitu tahap dimana seorang mukallaf melaksanakan taklif  fikih sesuai dengan fatwa faqih yang diikuti, seperti melakukan shalat, membayar zakat, menahan lapar waktu puasa dan sebagainya. Mempelajari ilmu fiqih adalah langkah yang harus ditempuh seorang hamba dalam tahap ini dengan merujuk kepada fatwa ulama yang terbukti mampu menjadi rujukan amaliyah (praktek) dalam kesehariannya. Jadi syariat berhubungan dengan praktek agama yang bersifat fisik lahiriyah.
2.      Thariqah, yaitu tahap dimana seseorang mulai mengisi (gerak) syari’atnya dengan nilai-nilai spiritual seperti keikhlasan, kekhusyukan atau nilai-nilai ruhani yang menjadi jiwa bagi setiap amalan yang kita lakukan. Dalam tahap ini seorang mukallaf berusaha untuk melakukan tadabbur (perenungan) dalam bentuk ritual penyucian diri dengan doa dan munajat serta perenungan yang menyampaikannya kepada hakikat diri yang untuk selanjutnya mengantarkannya kepada hakikat ketuhanan.
3.      Hakikat, tahap ini bukanlah tahap yang ditempuh dalam perjalanan manusia kepada Tuhan karena tahap ini sejatinya adalah hasil dari praktek syariat dan pendalaman thariqat. Hakikat bukan anak tangga menuju sesuatu karena hakikat adalah sesuatu itu sendiri. Hakikat tidak dicari karena hakikat akan datang sendiri saat kita membuka diri dengan hati yang bersih dan jiwa yang ikhlas. Pada tingkat ini manusia menjadi khalifah Allah yang melihat dengan mata-Nya, mendengar dengan telinga-Nya dan seterusnya. Bukankah sebuah riwayat dari Ibnu Abbas mengatakan: “Berhati-hatilah terhadap firasat seorang mukmin karena ia melihat dengan cahaya Allah”.
Sampai dimanakah kita melangkah hingga hari ini?. Bukan masalah bagi kita, karena yang terpenting adalah bersegera melakukan as sair ilallah (perjalanan menuju kepada Allah) dengan suluk (langkah-langkah spiritual) niscaya hakikat akan mendatangi kita dengan cara yang sangat rahasia di luar akal dan logika kita.

No comments

Powered by Blogger.